Jumat, 14 Juni 2019

HUT Jakarta: Lebih Dekat dengan Pangeran Jayakarta


Dalam rangka menyambut hari Ulang Tahun DKI Jakarta ke-492, lebih dari 300 petugas PPSU kelurahan Jatinegara dan kecamatan Pulogadung dikerahkan dalam kerja bakti di Makam Pangeran Jayakarta, Masjid Assaalsfiyah pada hari Rabu (12/6/2019). 

Sekretaris Kota Administrasi Jakarta Timur Usmayadi mengatakan pemkot berencana menyelenggarakan acara ziarah ke makam Pangeran Jayakarta pada Senin (17/6/2019). 

“Menyambut HUT DKI Jakarta ke-492 tentunya momentum ultah Jakarta ini kita lihat dari historisnya. Jakarta bernama Jayakarta. Di sini ada makam sesepuh yakni Pangeran Jayakarta,” ujar Usmayadi.

Menurut Usmayadi, kegiatan kerja bakti akan dirutinkan, minimal 3 bulan sekali agar makam terlihat bersih dan rapih.

Makam Pangeran Jayakarta memang merupakan destinasi wisata religi yang sering dikunjungi peziarah, terutama pada malam Jumat, dari sore hari hingga dini hari, meskipun pengunjung tidak dianjurkan oleh petugas makam menginap di areal makam. 

Konon, Pangeran Jayakarta adalah seorang penguasa kota pelabuhan Jayakarta pada 1602-1619, sebagai wakil dari Kesultanan Banten.

makam Pangeran Jayakarta (liputan6.com)
Asal-usul Pangeran Jayakarta masih samar. Dalam satu sumber, Pangeran Jayakarta adalah nama lain dari Pangeran Achmad Jakerta, putra Pangeran Sungerasa Jayawikarta dari Kesultanan Banten. Namun ada sumber sejarah lain menyebutkan bahwa ia adalah putra dari Ratu Bagus Angke atau Pangeran Hasanuddin, menantu Fatahillah.

Merunut sumber itu sebagaimana dikutip traverse.id, Pangeran Jayakarta mewarisi kekuasaan atas pelabuhan Sunda Kelapa dari Fatahillah yang berhasil merebutnya pada Februari 1527 dari Kerajaan Pajajaran yang bersekutu dengan Portugis. Fatahillah lalu mengganti nama dari Sunda Kelapa menjadi Jayakerta atau Jayakarta. Nama itulah yang kemudian menjadi cikal bakal Jakerta atau Jakarta pada 22 Juni 1527 dan sekarang menjadi hari jadi Kota Jakarta. Pangeran Jayakarta menjadi penguasa kota Pelabuhan Jayakarta sekalius wakil kesultanan Banten.

Pangeran Jayakarta memimpin pelabuhan ini sebagai bandar yang ramai disinggahi kapal dagang Eropa dan Asia saat itu. Di saat yang sama sebuah perusahaan dagang asal Belanda, yaitu VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) secara perlahan ingin menguasainya. VOC sendiri sebelumnya sudah menguasai perdagangan rempah-rempah Nusantara yang berpusat di Maluku.

VOC kemudian membeli tanah seluas 1,5 hektar di sisi timur muara Kali Ciliwung. Catatan sejarah pada November 1610 menjelaskan bahwa Kapten Jacques L’Hermite membayar sebesar 2.700 florin atau 1.200 real kepada Pangeran Jayakarta. Inilah pertama kali VOC berhasil membangun sebuah gudang permanen pertamanya yang terbuat dari kayu dan batu dan diberi nama Nassau Huis. Bukan hanya Belanda yang tertarik dengan pelabuhan ini, Inggris pun saat itu mendirikan benteng di sisi barat muara Kali Ciliwung.

Di tanah yang luasnya tidak seberapa itu kemudian VOC memonopoli perdagangan sehingga menimbulkan perselisihan dengan Pangeran Jayakarta. Bahkan, saat VOC dipimpin Jan Pieterzoon Coen, kemudian dibangun gedung kembaran Nassau Huis yang bernama Mauritius Huis. Di antara kedua gedung tersebut kemudian dibangun tembok berbentuk benteng segi empat dengan tinggi sekira 6 meter dilengkapi meriam di setiap sudutnya. Konflik pun semakin meruncing dari persaingan dagang ke perebutan pelabuhan strategis perdagangan. Pecahlah perang pertama di sini dimana pasukan Pangeran Jayakarta yang dibantu Kesultanan Banten berhasil mengalahkan VOC. Jan Pieterszoon Coen dan pasukan VOC kemudian mundur sejenak ke Ambon untuk mempersiapkan serangan balik dengan jumlah pasukan yang lebih besar.

Konflik dalam waktu yang sama bukan saja dengan VOC, nyatanya di kawasan ini juga pecah perang antara Kesultanan Banten dengan Inggris. Pasukan Inggris berhasil diusir dari Jayakarta. Akan tetapi, baru saja perang usai, tiba-tiba pasukan VOC kembali ke sini dengan pasukan lebih besar dari Ambon. Jan Pieterszoon Coen memimpin pasukan dengan misi balas dendam bersemboyankan “Despereet Niet” atau “Jangan Putus Asa”.  Kesultanan Banten dan Pasukan Jayakarta yang baru saja berperang dengan Inggris mengalami kelelahan sehingga berhasil dipukul mundur dari pelabuhan ini ke arah tenggara.

Dengan kemenangan tersebut, VOC kemudian menguasai hampir seluruh kawasan Pelabuhan Jayakarta (Sunda Kelapa). VOC membumihanguskan kawasan ini beserta seluruh isinya termasuk Keraton Jayakarta. Sejarah mencatat pada 12 Maret 1619, Jan Pieterszoon Coen kemudian mengubah nama Jayakarta menjadi Koninkrijk Jacatra (Kerajaan Jakarta) dan membangun kota baru yang dikelilingi benteng dengan nama Batavia tepat di atas reruntuhan Jayakarta.

VOC membangun sebuah kota berbudaya Eropa yang mirip seperti Kota Amsterdam di Belanda. VOC juga melakukan pengusiran terhadap orang-orang Banten, Cirebon dan Demak dari wilayah sekitar kota. Perlahan tapi pasti dari sinilah kemudian VOC menguasai seluruh Nusantara dengan benteng-benteng baru yang melindunginya di Kepulauan Seribu.

Mundurnya pasukan Pangeran Jayakarta ke arah tenggara Jayakarta bukan berarti selesai peperangan. Ketika diajak berdamai oleh VOC pun ia menolak, bahkan bersama pasukannya justru gencar menyerang pelabuhan ini dari berbagai sisi. Perang 9 tahun itu menyisakan beberapa cerita heroik dari keturunan Pangeran Jayakarta dan pasukannya. Salah satunya adalah saat Panglima Perang Syekh Badar Alwi Alidrus terdesak di daerah Mangga Dua kemudian ditangkap dan dikuliti tentara VOC atas perintah Jan Pieterszoon Coen. Pangeran Jayakarta  juga terdesak di daerah ini namun berhasil meloloskan diri dengan melepas jubah dan sorbannya yang dibuang ke sebuah sumur dan pasukan VOC mengiranya tewas. Mereka kemudian menghentikan pengejaran dan menimbun sumur dengan tanah. Sumur yang berlokasi di Jalan Pangeran Jayakarta tersebut dikenal sebagai Keramat Pangeran Jayakarta.

Pangeran Jayakarta memutuskan untuk mundur ke selatan bersama pasukannya hingga tiba di hutan jati sekitar tepian Kali Sunter. Sejak tahun 1619 daerah tersebut dikenal sebagai Jatinegara Kaum. Kata jati bermakna setia dan kata negara bermakna pemerintahan, makna jatinegara diartikan sebagai pemerintahan yang sejati. Dengan nama ini, Pangeran Jayakarta berusaha membuktikan bahwa pemerintahannya masih berjalan meskipun Jayakarta telah direbut oleh Belanda dan diubah menjadi Batavia. Dari sini juga Pangeran Jayakarta dan pengikutnya bergerilya sehingga membuat Batavia tidak pernah aman selama 80 tahun.

Pangeran Jayakarta juga membangun sebuah masjid di Kali Sunter tahun 1620 untuk menggalang kekuatannya kembali. Masjid tersebut dinamai Masjid As-Salafiyah (bermakna tertua). Masyarakat sekitar sempat menyebutnya sebagai Masjid Pangeran Jayakarta. Di masjid inilah para pengikut setia Pangeran Jayakarta baik itu ulama, tokoh masyarakat, maupun jawara sering berkumpul untuk menyusun strategi perjuangan melawan Belanda sekaligus melakukan dakwah Islam.

Masjid As-Salafiah, sebelumnya dikenal juga sebagai masjid Pangeran Jayakarta/republika.co.id
Tahun 1940 Pangeran Jayakarta wafat dan dimakamkan dekat Masjid As-Salafiah (kawasan Jatinegera Kaum, Jakarta Timur) bersama keluarga dan pengikutnya. Menurut cerita bahwa makam terakhir bangsawan Banten itu pernah dirahasiakan keberadaannya hingga tiga abad. Makam Pangeran Jayakarta baru diumumkan tahun 1965 bertepatan dengan HUT DKI ke-429, pada masa Gubernur Henk Ngantung.

Makam Pangeran Jayakarta sempat dipugar beberapa kali, yaitu pertama kali tahun 1700 oleh Pangeran Sageri. Pemugaran kedua tahun 1842 oleh Aria Tubagus Kosim. Pemugaran ketiga tahun 1969 oleh Gubernur DKI H. Ali Sadikin, dimana dibangun dua lantai dengan menara baru. Pemugaran keempat tahun 1992 oleh Gubernur DKI H. Suryadi Soedirdja.

Jika berkunjung ke makam, peziarah akan disambut dua gapura layaknya kerajaan masa lalu. Melepas alas kaki jadi kewajiban tiap pengunjung yang datang.

Di lokasi makam, ada empat makam lain yang mendampingi kubur Pangeran Jayakarta, yaitu Pangeran Lahut anak dari Pangeran Jayakarta, Pangeran Soeria, Pangeran Sageri  keponakan Pangeran Jayakarta dan Ratu Rupiah, istri dari Pangeran Sageri. 

Di lokasi seluas 3.000 m2 itu, sederetan makam juga tampak mengelilingi. Itu adalah tempat peristirahatan terakhir para keluarga dan keturunan dari Pangeran Jayakarta.

Area dimana terletak cungkup makam Pangeran Jayakarta tumbuh pohon raksasa. Di samping pohon terdapat lambang Kodam Jaya bertulis “Jayakarta” dengan kepak 24 sayap dan sebatang pohon kelapa serta prasasti yang ditandatangani Pengdam Jaya untuk mengenang perjuangan Pangeran Jayakarta. 

Tak jauh dari lokasi makam Pangeran Jayakarta, pengunjung dapat menyambangi makam tokoh perjuangan lain bernama Pangeran Sanghyang (Raden Syarif bin Pangeran Senopati Ingalaga). Tak banyak referensi mengenainya. Menurut catatan sejarah, Pangeran Sanghyang juga merupakan bangsawan kerajaan Banten. Ia berjuang melawan Belanda bersama Pangeran Tubagus Badaruddin dan tokoh lain. Pangeran Sang Hyang dibuang oleh VOC ke Sri Lanka pada 1746 – 1750, sekitar seabad setelah kedatangan Pangeran Sageri ke Jatinegara Kaum.

Pengurus Masjid Pangeran Jayakarta H. Ahmad Suhendar berharap program rutin pembersihan makam keramat Pangeran Jayakarta sungguh-sungguh terlaksana ke depannya. 

“Saya berharap program ini berjalan lanjut. Saya yakin pasti bersih kalau tiga bulan sekali (pembersihan makam), karena peziarah ke makam Jayakarta sudah dari mancanegara,” kata Ahmad.


Sumber: Pemkot Jakarta Timur dan berbagai sumber

2 komentar: