Nasib sembilan benteng di gudang peluru Kampung Petukangan, Rawaterate itu kini benar-benar terbengkalai. Pohon ilalang menjadi
pemandangan lumrah yang menjadikan benteng peninggalan Belanda itu kini
benar-benar terkesan angker. Namun sebenarnya benteng timur wilayah
Batavia yang sekaligus gudang peluru itu menyimpan sejarah tersendiri
bagi warga Cakung.
"Dulu semua jalur mau ke arah Bekasi melintasi Cakung. Di sana ada markas Belanda dan sering dijadikan tempat pemeriksaan," kata Iwan Cepi Murtado, keturunan Murtado Macan Kemayoran saat berbincang dengan merdeka.com di kediamannya, Kemayoran, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu.
Iwan Cepi begitu dia dikenal, menceritakan sedikit kaitan mendiang ayahnya soal lintasan Cakung. Dulu ayahnya yang kini dikenal sebagai Macan Kemayoran kerap bekerja sama dengan Haji Darif untuk mengirim senjata bagi para pejuang. Di ujung Cakung, yang berbatasan dengan Bekasi, sudah menunggu Kiai H Nur Ali yang merupakan pejuang asal Bekasi.
"Di Cakung, H Darif yang membantu," ujarnya. Haji Darif yang diceritakan Iwan Cepi Murtado merupakan pahlawan asli Betawi. Dia menguasai wilayah Klender hingga Cakung, Jakarta Timur. Pasukan Belanda pun sempat dibuat gerah dengan sepak terjang Haji Darif. Sebab Haji Darif seorang ulama yang juga jago silat. Konon dia kebal peluru dan senjata tajam.
Cerita soal Cakung dan Gudang Peluru memang berakitan. Dulu ketika zaman Belanda, jalur penghubung Jakarta dengan Bekasi adalah Cakung. Beberapa literatur menyebutkan jika Cakung merupakan daerah strategis. Wilayah yang masuk Kota Administrasi Jakarta Timur ini merupakan gerbang pertahanan wilayah Timur Batavia. Jangan kaget, jika di dekat wilayah ini terdapat makam-makam pahlawan. Yang paling kesohor ialah Raden Fatahilah dan Haji Darif dari Klender.
Pasca-kemerdekaan Indonesia, daerah Cakung dan Bekasi masuk ke dalam Kabupaten Jati Negara. Bahkan pada abad ke-19, Belanda menjadikan Cakung sebagai jalur penting untuk berbisnis dan melebarkan kekuasaan. Cakung dianggap menjadi titik pertemuan Barat, yaitu Jakarta dan Timur yang merupakan wilayah Bekasi-Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Saking sentralnya, bukti peninggalan Belanda yang dulu pernah ada di Cakung, dibangun pusat militer kolonial Belanda. Selain itu, Belanda juga pernah membangun sumur bor tepat di pertigaan Jalan Raya Bekasi. Sumur bor ini pernah digunakan Belanda untuk memenuhi kebutuhan air. Sayang bekas peninggalan sumur ini sudah berubah menjadi pemukiman warga.
"Belanda memang pernah membuat pusat pertahanan dan di sini gudang pelurunya," kata Subur salah satu warga Rawaterate, yang menjadi saksi sejarah 9 benteng gudang peluru peninggalan Belanda tersebut.
Sayang dari sisa peninggalan gerbang pertahanan Batavia yang menjadi pusat pertempuran pejuang, hanya Benteng gudang peluru yang tersisa. Bahkan kini nasib benteng gudang peluru dalam sengketa pertanahan. Dari sembilan benteng, tiga diantaranya dihuni oleh pendatang liar yang berprofesi sebagai pemulung.
"Yah biar kata dikelilingi rawa saya mah seneng aja tinggal dimari. Enak suasananya kayak di kampung," kata Iyus, salah satu penghuni benteng gudang peluru.
"Dulu semua jalur mau ke arah Bekasi melintasi Cakung. Di sana ada markas Belanda dan sering dijadikan tempat pemeriksaan," kata Iwan Cepi Murtado, keturunan Murtado Macan Kemayoran saat berbincang dengan merdeka.com di kediamannya, Kemayoran, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu.
Iwan Cepi begitu dia dikenal, menceritakan sedikit kaitan mendiang ayahnya soal lintasan Cakung. Dulu ayahnya yang kini dikenal sebagai Macan Kemayoran kerap bekerja sama dengan Haji Darif untuk mengirim senjata bagi para pejuang. Di ujung Cakung, yang berbatasan dengan Bekasi, sudah menunggu Kiai H Nur Ali yang merupakan pejuang asal Bekasi.
"Di Cakung, H Darif yang membantu," ujarnya. Haji Darif yang diceritakan Iwan Cepi Murtado merupakan pahlawan asli Betawi. Dia menguasai wilayah Klender hingga Cakung, Jakarta Timur. Pasukan Belanda pun sempat dibuat gerah dengan sepak terjang Haji Darif. Sebab Haji Darif seorang ulama yang juga jago silat. Konon dia kebal peluru dan senjata tajam.
Cerita soal Cakung dan Gudang Peluru memang berakitan. Dulu ketika zaman Belanda, jalur penghubung Jakarta dengan Bekasi adalah Cakung. Beberapa literatur menyebutkan jika Cakung merupakan daerah strategis. Wilayah yang masuk Kota Administrasi Jakarta Timur ini merupakan gerbang pertahanan wilayah Timur Batavia. Jangan kaget, jika di dekat wilayah ini terdapat makam-makam pahlawan. Yang paling kesohor ialah Raden Fatahilah dan Haji Darif dari Klender.
Pasca-kemerdekaan Indonesia, daerah Cakung dan Bekasi masuk ke dalam Kabupaten Jati Negara. Bahkan pada abad ke-19, Belanda menjadikan Cakung sebagai jalur penting untuk berbisnis dan melebarkan kekuasaan. Cakung dianggap menjadi titik pertemuan Barat, yaitu Jakarta dan Timur yang merupakan wilayah Bekasi-Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Saking sentralnya, bukti peninggalan Belanda yang dulu pernah ada di Cakung, dibangun pusat militer kolonial Belanda. Selain itu, Belanda juga pernah membangun sumur bor tepat di pertigaan Jalan Raya Bekasi. Sumur bor ini pernah digunakan Belanda untuk memenuhi kebutuhan air. Sayang bekas peninggalan sumur ini sudah berubah menjadi pemukiman warga.
"Belanda memang pernah membuat pusat pertahanan dan di sini gudang pelurunya," kata Subur salah satu warga Rawaterate, yang menjadi saksi sejarah 9 benteng gudang peluru peninggalan Belanda tersebut.
Sayang dari sisa peninggalan gerbang pertahanan Batavia yang menjadi pusat pertempuran pejuang, hanya Benteng gudang peluru yang tersisa. Bahkan kini nasib benteng gudang peluru dalam sengketa pertanahan. Dari sembilan benteng, tiga diantaranya dihuni oleh pendatang liar yang berprofesi sebagai pemulung.
"Yah biar kata dikelilingi rawa saya mah seneng aja tinggal dimari. Enak suasananya kayak di kampung," kata Iyus, salah satu penghuni benteng gudang peluru.
Sumber: Merdeka.com
0 komentar:
Posting Komentar