Asap pembakaran sampah terlihat dari rumah warga Perumahan Jatinegara Indah di pagi hari |
Warga, terutama mereka yang memiliki balita, mengeluhkan asap yang mengotori udara dan mengganggu pernafasan. Mereka cemas polusi udara itu akan berdampak terhadap kesehatan anak-anak.
Pembakaran sampah dan limbah tampaknya masih marak meskipun aturan hukum dan peraturan daerahnya jelas dan tegas melarang hal itu. Menurut Perda DKI No. 3 tahun 2013 juncto UU No. 32 Tahun 2009, setiap orang yang membakar sampah sehingga mencemari lingkungan diancam dengan hukuman pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak 500 juta rupiah. Cukup besar bukan? Sebagai perbandingan, membuang sampah sembarangan di kali diancam dengan denda sebesar 500.000 rupiah, dan membuang sampah dari kendaraan diancam denda maksimal 500.000 rupiah.
Membakar sampah sembarangan menimbulkan polusi udara yang sangat berbahaya, lebih berbahaya dari polusi kendaraan bermotor. Selain CO2, pembakaran sampah juga menimbulkan senyawa dioksin, senyawa yang dapat memicu pembengkakan hati, kanker, dan asma jika terhirup oleh manusia. Membakar sampah juga telah berulang kali menjadi pemicu kebakaran,khususnya di daerah permukiman padat seperti di Pasar Gembrong Jatinegara pada Agustus 2015 dan juga di Cipinang Cempedak pada November 2015 silam. Pembakaran sampah sembarangan memberikan dampak buruk bagi kualitas udara, dan hanya menguntungkan si pembakar sampah.
Di Singapura, hanya untuk membuang sampah sembarangan, denda yang diancamkan adalah sebesar $1,000 dolar singapura. Sedangkan untuk pembakaran sampah sembarangan, masuk kedalam tindak pidana berat yang diatur pada undang-undang pencemaran udara, dengan ancaman hukuman pidana 3 tahun penjara dan kewajiban membersihkan lingkungan atau corrective work order.
Pembakaran sampah sembarangan bukan hal asing lagi di Jakarta, dan, seperti banyak pelanggaran lain, kita menjadi "terbiasa" dengan pelanggaran ini, dan memaklumi orang yang melakukannya. Padahal dampak yang diakibatkan dari pembakaran sampah ini sangat merugikan warga, termasuk perempuan dan anak-anak, yang dipaksa menghirup polusi yang timbul dari asap pembakaran sampah.
Di berbagai media, telah banyak himbauan dari para petinggi provinsi DKI mulai dari camat hingga walikota. Namun himbauan ini dianggap sebagai angin lalu dan kasus pembakaran sampah masih terjadi di Jakarta.
Warga membakar sampahnya karena tidak tersedia tempat pembuangan sampah yang dapat menampung sampah mereka. Biaya membuang sampah yang ada dianggap terlalu tinggi bagi pembakar sampah sehingga mereka memilih untuk membakar sampahnya. Oleh karena itu Pemprov DKI perlu dengan tegas menegakkan Perda nya sendiri, dan mengedukasi masyarakat secara langsung di lapangan baik dengan peringatan maupun denda sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
sumber: kompasiana.com
0 komentar:
Posting Komentar