Suara
musik keroncong terdengar sayup-sayup di antara beragam sumber
kebisingan di Jalan Matraman Raya, Jakarta Timur, suatu siang menjelang
sore akhir pekan lalu. Bunyi klakson mobil serta teriakan tukang parkir
terdengar dominan. Saya sedang mencari sebuah warung sate kambing khas
Klaten, Jawa Tengah, di pinggir jalan itu. Seorang teman bilang, "Kau
jalan saja di sepanjang trotoar di sisi Polsek Jatinegara, dari arah
Polsek ke pintu utama Pasar Mester. Nanti kau akan dengar suara musik
keroncong. Ikuti sumber suara musik itu, nah di situ warung satenya.
Tapi sebaiknya jangan datang pas makan siang karena saat itu ramai
banget."
Suara musik keroncong yang tadi sayup-sayup ternyata berasal dari mulut
Gang Lele. Persis di depan para pemusik dan penyanyi itu terdapat warung
sate yang saya cari. Mereka rupanya pengamen tetap di warung tersebut.
Unik juga, suara musik keroncong menjadi penanda keberadaan sebuah
warung sate.
Kehadiran pengamen bermusik keroncong itu memang
disengaja sejak empat tahun lalu. Sang pemilik warung, Sri Mulyono,
ingin memuaskan pengunjung. Di sini mereka bisa bergoyang lidah dan
memanjakan telinga dengan lagu-lagu keroncong. Tetapi mengapa keroncong?
"Ah kebetulan aja," kata Mulyono.
Di situ, pengamen tidak
menyodor-nyodorkan kantong ’derma’ sebagaimana aksi para pengamen
umumnya. Mereka hanya meletakkan sebuah stoples plastik di atas sebuah
bangku kecil. Yang mau memberi sumbangan, tinggal memasukan uang ke
dalam stoples.
Pertunjukan musik hidup terbilang tidak lazim
untuk tempat makan kategori warung pinggir jalan. Kehadiran pengamen di
tempat-tempat makan di pinggir jalan (kaki lima) seringkali justeru jadi
pengganggu. Para pengamen biasanya keluar masuk bergantian dan
’menuntut’ segera dilayani. Mereka tidak peduli orang sedang makan,
tangannya belepotan minyak dan susah untuk meraih uang receh dalam
kantong celana atau dompet.
Di warung sate itu kehadiran
pengamen justru menjadi ’brand’. Orang mengenal tempat itu sebagai
Warung Sate Keroncong, bukan nama aslinya yaitu Warung Sate Sederhana.
"Dulu kita dikenal dengan nama warung sate seksi tujuh karena Polsek
Jatinegara dulu namanya sektor tujuh. Sekarang orang sebut sate
keroncong, ya tidak apa-apa," kata Mulyono.
Ada tujuh orang pemusik sekaligus penyanyi keroncong di warung itu.
Mereka selalu tampil bareng namun saat saya datang hanya ada lima orang
yaitu Edi Suwono pemain biola, Jamari pemain juk, Miyem (satu-satu
perempuan) pemain ukulele, Wahyu pemain gitar, dan Sarwono pemain celo.
Selain membawakan lagu-lagu keroncong, mereka juga biasa mengimprivasasi
lagu-lagu pop jadi lagu keroncong. "Improvisasi kita lakukan secara
spontan aja," kata Edi.
Mereka mengamen dari pukul 10.00 sampai
pukul 15.00 atau 16.00. Warung itu sendiri beroperasi dari pukul 09.00
sampai 21.00. Kata Edi, kalau ramai mereka masing-masing bisa dapat uang
Rp 40.000 sehari. "Kalau lagi sepi bisa hanya dapat Rp 20.000,"
katanya.
Selain mengamen di depan warung itu, mereka juga
kadang-kadang menerima permintaan untuk tampil di acara pernikahan,
ulang tahun atau sunatan. "Undangan seperti itu sebulan biasanya hanya
dua kali," kata Edi. Sekali tampil di acara pernikahan, atau ulang tahun
mereka minta bayaran Rp3.5 juta. Pemain sinetron Adjie Massaid termasuk
yang pernah memakai jasa mereka. Semula mereka pengamen keliling. Namun
sejak diminta Mulyono, mereka tidak pernah naik turun bus kota lagi.
Warung itu hanya memiliki tiga menu yaitu sate, tongseng dan gulai
kambing. Menurut Mulyono, dulu menu unggulannya gulai kambing tetapi
sekarang justru tongseng. Pada jam makan siang, tongsenglah yang paling
laris. Kuah tongsengnya kental dengan rasa rempah yang kuat. Tetapi saya
lebih suka gulai kambingnya karena dagingnya empuk.
Warung itu
mulai beroperasi tahun 1959 di kaki lima Jalan Matraman Raya. Mulyono
merupakan generasi kedua. Perintisnya adalah Kirmadi, ayah Mulyono. Dari
sembilan orang anak Kirmadi hanya Mulyono yang melanjutkan usaha
tersebut.
Warung berusia 48 tahun itu, kini memiliki 20 orang
karyawan. Omsetnya beberapa tahun terakhir menurun. Sekarang misalnya,
warung itu hanya mengabiskan 50 kilogram daging kambing setiap hari.
"Tahun 1990-an sehari kita bisa menghabiskan sampai 100 kg per hari,"
kata Mulyono.
Mengapa menurun? Mulyono tidak tahu persis sebabnya. Ia hanya menduga,
hal itu mungkin karena banyak pelanggannya pindah ke pinggir Jakarta. Ia
kini memasang target, pemasukan per hari tempat itu tidak boleh kurang
dari Rp 3 juta.
Ia menegaskan, racikan bumbu, pengolahan maupun
cara memasak tidak ada yang berubah. Warung ini tetap menggunakan kayu
sebagai bahan bakar. Setiap hari Mulyono menghabiskan setengah sampai
satu kubik kayu bakar. "Kami sengaja menggunakan kayu bakar untuk
mempertahankan aroma," katanya.
Bagi penggembar daging kambing
dan penikmat musik keroncong, warung ini bisa masuk dalam daftar tempat
makan yang perlu dipertimbangkan untuk dikunjungi. Di sini, satu porsi
sate kambing harganya Rp 24.000, gulai Rp 17.000 dan tongseng Rp 18.000.
Sumber: Egidius Patnistik (kompas.com)
www.youtube.com/watch?v=RJGArXEM7tg
0 komentar:
Posting Komentar