Rabu, 29 November 2017

Akhirnya Butet Mati (Juga)



Mesin pencari peta besutan Google, Google Maps, menampilkan warna merah serta menyematkan pengumuman pada informasi mengenai Buaran Theater (Butet). Permanently closed. Artinya, tutup secara permanen. 
Warga senior Jakarta Timur pasti mengingat Butet sebagai salah satu bioskop independen yang tersisa, dan masih menggunakan rol film 35 milimeter konvensional. Butet sendiri berdiri sejak Juli 1989. 
Kabar simpang siur beredar di media bahwa bioskop yang memiliki 4 teater dan menempati luas tanah 3.600 meter persegi ini tengah menjadi objek perdebatan yang alot dan berkepanjangan antara pemilik dan pengelola mengenai rencana modernisasi teater yang berkapasitas 250 penonton. 
Pengelolaan Butet memang menjadi tidak masuk akal akhir-akhir ini jika menilik jumlah penonton yang tidak lebih dari hitungan jari. Bioskop yang beralamat di Jl. Buaran Indah Raya 1-2 ini pun hanya membanderol harga tiket sebesar Rp 10.000 pada hari Senin hingga Jumat, dan Rp15.000 pada hari Sabtu/Minggu ataupun hari Libur. Belum lagi menjamurnya pesaing yang lebih moderen dari gerai bioskop digital. 
Kabarnya, bangunan bioskop yang diresmikan oleh walikota Jakarta Timur Mas Sunaryono pada Juli 14, 1989 dan telah beroperasi selama 28 tahun itu bahkan sedang dalam proses pembongkaran. Sayang sekali!
Portal berita CNN Indonesia mengonfirmasi rencana pembongkaran bioskop tersebut. 
"Sudah sejak seminggu lalu berhenti dan kemudian bertahap dirobohkan," kata operator bioskop, Agus Salim Zebua, pada Selasa (28/110 sebagaimana dikutip portal berita tersebut. 
“Kurang lebih sejak empat tahun lalu, bioskop-bioskop sudah tidak pakai proyektor, berubah ke digital. Sedangkan di bioskop Buaran masih pakai mesin lama, sehingga tidak bisa putar film baru," tambah Agus. 
Sepinya peminat akan film-film lawas yang diputar menimbulkan kerugian bagi bioskop. Uang pendapatan tak sanggup lagi menutup kebutuhan seperti tagihan listrik dan perawatan gedung.

"Saya dengar dari pak manager, satu bulan ruginya Rp25 juta sampai Rp35 juta, untuk bayar PLN. PLN bisa sampai Rp29 juta, belum uang makan dan gaji karyawan," ungkapnya.
Menurut Agus, sedikitnya penonton yang datang dikarenakan tidak adanya film baru yang diputar. Terakhir, film yang diputar hanyalah film barat Machete (2010) dan sejumlah film lawas Indonesia.

Butet memang akhirnya mengikuti jejak bioskop-bioskop independen di Jakarta yang satu per satu telah ditutup dan tinggal sejarah. Yang masih belum jelas adalah nasib 22 karyawan setelah Butet ditutup. 

Tutupnya Buaran Theater menyusul tutupnya bioskop independen di kawasan Senen, Jakarta Pusat awal tahun ini, Grand Theater. Butet adalah nafas terakhir bioskop independen di tengah dominasi tiga perusahaan Grup 21, CGV Cinema dan Cinemaxx yang menguasai 93 persen dari 1.200 layar bioskop di seluruh Indonesia. 

Menurut penuturan ketua Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia, Djonny Syafruddin,  sebagaimana dikutip BBC, bioskop independen kalah bersaing melawan bioskop jaringan dalam perebutan wilayah strategis di mal dan pertokoan yang ramai. 

Selain itu teknologi konvensional pita seluloid sebagaimana direkam dengan apik di dalam film Indonesia "Janji Joni" yang bercerita mengenai kisah pengantar rol film bioskop, sudah kadaluarsa masanya. 
Dahulu, rol film didistribusikan ke bioskop besar terlebih dahulu, baru kemudian dijatahkan pada bioskop independen beberapa minggu atau beberapa bulan kemudian. Tak heran, jumlah bioskop merosot drastis, terutama dalam kurun 1991 hingga 2002. 

Dari jumlah sekitar 2.600 bioskop yang beroperasi pada tahun 1990, di tahun 2002, dilaporkan jumlahnya menyusut menjadi 264 bioskop dengan 676 layar. 

0 komentar:

Posting Komentar