Sabtu, 22 November 2014

Sate ’Keroncong’ Gang Lele Jatinegara



Suara musik keroncong terdengar sayup-sayup di antara beragam sumber kebisingan di Jalan Matraman Raya, Jakarta Timur, suatu siang menjelang sore akhir pekan lalu. Bunyi klakson mobil serta teriakan tukang parkir terdengar dominan. Saya sedang mencari sebuah warung sate kambing khas Klaten, Jawa Tengah, di pinggir jalan itu. Seorang teman bilang, "Kau jalan saja di sepanjang trotoar di sisi Polsek Jatinegara, dari arah Polsek ke pintu utama Pasar Mester. Nanti kau akan dengar suara musik keroncong. Ikuti sumber suara musik itu, nah di situ warung satenya. Tapi sebaiknya jangan datang pas makan siang karena saat itu ramai banget." Suara musik keroncong yang tadi sayup-sayup ternyata berasal dari mulut Gang Lele. Persis di depan para pemusik dan penyanyi itu terdapat warung sate yang saya cari. Mereka rupanya pengamen tetap di warung tersebut. Unik juga, suara musik keroncong menjadi penanda keberadaan sebuah warung sate.

Kehadiran pengamen bermusik keroncong itu memang disengaja sejak empat tahun lalu. Sang pemilik warung, Sri Mulyono, ingin memuaskan pengunjung. Di sini mereka bisa bergoyang lidah dan memanjakan telinga dengan lagu-lagu keroncong. Tetapi mengapa keroncong? "Ah kebetulan aja," kata Mulyono.

Di situ, pengamen tidak menyodor-nyodorkan kantong ’derma’ sebagaimana aksi para pengamen umumnya. Mereka hanya meletakkan sebuah stoples plastik di atas sebuah bangku kecil. Yang mau memberi sumbangan, tinggal memasukan uang ke dalam stoples.

Pertunjukan musik hidup terbilang tidak lazim untuk tempat makan kategori warung pinggir jalan. Kehadiran pengamen di tempat-tempat makan di pinggir jalan (kaki lima) seringkali justeru jadi pengganggu. Para pengamen biasanya keluar masuk bergantian dan ’menuntut’ segera dilayani. Mereka tidak peduli orang sedang makan, tangannya belepotan minyak dan susah untuk meraih uang receh dalam kantong celana atau dompet.

Di warung sate itu kehadiran pengamen justru menjadi ’brand’. Orang mengenal tempat itu sebagai Warung Sate Keroncong, bukan nama aslinya yaitu Warung Sate Sederhana. "Dulu kita dikenal dengan nama warung sate seksi tujuh karena Polsek Jatinegara dulu namanya sektor tujuh. Sekarang orang sebut sate keroncong, ya tidak apa-apa," kata Mulyono.

Ada tujuh orang pemusik sekaligus penyanyi keroncong di warung itu. Mereka selalu tampil bareng namun saat saya datang hanya ada lima orang yaitu Edi Suwono pemain biola, Jamari pemain juk, Miyem (satu-satu perempuan) pemain ukulele, Wahyu pemain gitar, dan Sarwono pemain celo. Selain membawakan lagu-lagu keroncong, mereka juga biasa mengimprivasasi lagu-lagu pop jadi lagu keroncong. "Improvisasi kita lakukan secara spontan aja," kata Edi.

Mereka mengamen dari pukul 10.00 sampai pukul 15.00 atau 16.00. Warung itu sendiri beroperasi dari pukul 09.00 sampai 21.00. Kata Edi, kalau ramai mereka masing-masing bisa dapat uang Rp 40.000 sehari. "Kalau lagi sepi bisa hanya dapat Rp 20.000," katanya.

Selain mengamen di depan warung itu, mereka juga kadang-kadang menerima permintaan untuk tampil di acara pernikahan, ulang tahun atau sunatan. "Undangan seperti itu sebulan biasanya hanya dua kali," kata Edi. Sekali tampil di acara pernikahan, atau ulang tahun mereka minta bayaran Rp3.5 juta. Pemain sinetron Adjie Massaid termasuk yang pernah memakai jasa mereka. Semula mereka pengamen keliling. Namun sejak diminta Mulyono, mereka tidak pernah naik turun bus kota lagi.

Warung itu hanya memiliki tiga menu yaitu sate, tongseng dan gulai kambing. Menurut Mulyono, dulu menu unggulannya gulai kambing tetapi sekarang justru tongseng. Pada jam makan siang, tongsenglah yang paling laris. Kuah tongsengnya kental dengan rasa rempah yang kuat. Tetapi saya lebih suka gulai kambingnya karena dagingnya empuk.

Warung itu mulai beroperasi tahun 1959 di kaki lima Jalan Matraman Raya. Mulyono merupakan generasi kedua. Perintisnya adalah Kirmadi, ayah Mulyono. Dari sembilan orang anak Kirmadi hanya Mulyono yang melanjutkan usaha tersebut.

Warung berusia 48 tahun itu, kini memiliki 20 orang karyawan. Omsetnya beberapa tahun terakhir menurun. Sekarang misalnya, warung itu hanya mengabiskan 50 kilogram daging kambing setiap hari. "Tahun 1990-an sehari kita bisa menghabiskan sampai 100 kg per hari," kata Mulyono.

Mengapa menurun? Mulyono tidak tahu persis sebabnya. Ia hanya menduga, hal itu mungkin karena banyak pelanggannya pindah ke pinggir Jakarta. Ia kini memasang target, pemasukan per hari tempat itu tidak boleh kurang dari Rp 3 juta.

Ia menegaskan, racikan bumbu, pengolahan maupun cara memasak tidak ada yang berubah. Warung ini tetap menggunakan kayu sebagai bahan bakar. Setiap hari Mulyono menghabiskan setengah sampai satu kubik kayu bakar. "Kami sengaja menggunakan kayu bakar untuk mempertahankan aroma," katanya.

Bagi penggembar daging kambing dan penikmat musik keroncong, warung ini bisa masuk dalam daftar tempat makan yang perlu dipertimbangkan untuk dikunjungi. Di sini, satu porsi sate kambing harganya Rp 24.000, gulai Rp 17.000 dan tongseng Rp 18.000.


Sumber: Egidius Patnistik (kompas.com)

www.youtube.com/watch?v=RJGArXEM7tg

0 komentar:

Posting Komentar